Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now 

Blogger templates

Recent Comments

Pasang Iklan Gratis

Thursday, September 22, 2011

BOLEHKAH KENCING SAMBIL BERDIRI

Ada lima hadits yang membicarakan mengenai masalah ini. Tiga hadits adalah hadits yang shahih. Sedangkan dua hadits lainnya adalah dho’if (lemah).
Hadits Pertama
Hadits pertama ini menceritakan bahwa istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengingkari kalau ada yang mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi pernah kencing sambil berdiri.
‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha- mengatakan,
مَنْ حَدَّثَكُمْ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَبُوْلُ قَائِمًا فَلاَ تُصَدِّقُوْهُ مَا كَانَ يَبُوْلُ إِلاَّ قَاعِدًا
“Barangsiapa yang mengatakan pada kalian bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah kencing sambil berdiri, maka janganlah kalian membenarkannya. (Yang benar) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa kencing sambil duduk.” (HR. At Tirmidzi dan An Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 201 bahwa hadits ini shahih). Abu Isa At Tirmidzi mengatakan, “Hadits ini adalah hadits yang lebih bagus dan lebih shahih dari hadits lainnya tatkala membicarakan masalah ini.”
Hadits Kedua
Hadits ini menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah kencing sambil berdiri. Bukhari membawakan hadits ini dalam kitab shahihnya pada Bab “Kencing dalam Keadaan Berdiri dan Duduk.
Hudzaifah –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan,
أَتَى النَّبِىُّ ، ( صلى الله عليه وسلم ) ، سُبَاطَةَ قَوْمٍ ، فَبَالَ قَائِمًا ، فَدَعَا بِمَاءٍ ، فَجِئْتُهُ بِمَاءٍ ، فَتَوَضَّأَ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendatangi tempat pembuangan sampah milik suatu kaum. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam kencing sambil berdiri. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta diambilkan air. Aku pun mengambilkan beliau air, lalu beliau berwudhu dengannya.” (HR. Bukhari no. 224 dan Muslim no. 273).
Hadits ini tentu saja adalah hadits yang shahih karena disepakati oleh Bukhari dan Muslim. Ibnu Baththol tatkala menjelaskan hadits ini mengatakan, “Hadits ini merupakan dalil bolehnya kencing sambil berdiri.[1]
Hadits Ketiga
Hadits berikut menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah kencing sambil duduk.
‘Abdurrahman bin Hasanah mengatakan,
خَرَجَ عَلَيْنَا النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ فِي يَدِهِ كَهَيْئَةِ الدَّرَقَةِ قَالَ : فَوَضَعَهَا ، ثُمَّ جَلَسَ فَبَالَ إِلَيْهَا
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar bersama kami dan di tangannya terdapat sesuatu yang berbentuk perisai, lalu beliau meletakkannya kemudian beliau duduk lalu kencing menghadapnya.” (HR. Abu Daud, An Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ahmad. Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobih mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Hadits Keempat
Hadits berikut ini membicarakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melarang Umar kencing sambil berdiri, namun hadits ini adalah hadits yang dho’if (lemah).
‘Umar –radhiyallahu ‘anhu- berkata,
رَآنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَبُولُ قَائِمًا فَقَالَ :« يَا عُمَرُ لاَ تَبُلْ قَائِمًا ». قَالَ فَمَا بُلْتُ قَائِمًا بَعْدُ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatku kencing sambil berdiri, kemudian beliau mengatakan, “Wahai ‘Umar janganlah engkau kencing sambil berdiri.” Umar pun setelah itu tidak pernah kencing lagi sambil berdiri.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Syaikh Al Huwainiy –ulama hadits saat ini- mengatakan, “Ibnul Mundzir berkata bahwa hadits ini tidak shahih. Adapun Asy Syaukani sebagaimana dalam As Sail Al Jaror mengatakan bahwa As Suyuthi telah menshohihkan hadits ini!! Boleh jadi As Suyuthi melihat pada riwayat Ibnu Hibban. Lalu beliau tidak menoleh sama sekali pada tadlis yang biasa dilakukan oleh Ibnu Juraij. Sebagaimana kita ketahui pula bahwa As Suyuthi bergampang-gampangan dalam menshohihkan hadits. Kemudian hadits ini dalam riwayat Ibnu Hibban dikatakan dari Ibnu ‘Umar. Namun sudah diketahui bahwa hadits ini berasal dari ‘Umar (ayah Ibnu ‘Umar). Saya tidak mengetahui apakah di sini ada perbedaan sanad ataukah hal ini tidak disebutkan dalam riwayat Ibnu Hibban?!”[2]
Syaikh Al Albani –rahimahullah- mengatakan, “Hadits ini dho’if (lemah). Yang tepat, tidaklah mengapa seseorang kencing sambil berdiri asalkan aman dari percikan kencing. Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Al Fath mengatakan, “Tidak terdapat dalil yang shahih yang menunjukkan larangan kencing sambil berdiri.” Dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar, dari ‘Umar, beliau berkata, “Aku tidak pernah kencing sambil berdiri sejak aku masuk Islam”. Sanad hadits ini shahih. Namun dari jalur lain, dari Zaid, beliau berkata, “Aku pernah melihat ‘Umar kencing sambil berdiri”. Sanad hadits ini juga shahih. Oleh karena itu, hal inilah yang dilakukan oleh ‘Umar dan ini menunjukkan telah jelas bagi ‘Umar bahwa tidak mengapa kencing sambil berdiri”.”[3]
Hadits Kelima
Hadits berikut menunjukkan bahwa kencing sambil berdiri adalah termasuk perangai yang buruk, namun hadits ini juga adalah hadits yang dho’if (lemah).
Dari Buraidah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثلاثٌ مِنَ الجَفاءِ أنْ يَبُولَ الرَّجُلُ قائِماً أوْ يَمْسَحَ جَبْهَتَهُ قَبْلَ أنْ يَفْرَغَ مِنْ صَلاتِهِ أوْ يَنْفُخَ في سُجُودِهِ
“Tiga perkara yang menunjukkan perangai yang buruk: [1] kencing sambil berdiri, [2] mengusap dahi (dari debu) sebelum selesai shalat, atau [3] meniup (debu) di (tempat) sujud.” (Diriwayatkan oleh Bukhari dalam At Tarikh dan juga oleh Al Bazzar)
Syaikh Al Huwaini –hafizhahullah- mengatakan, “Yang benar, hadits ini adalah mauquf (cuma perkataan sahabat) dan bukan marfu’ (perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).” Di tempat sebelumnya, Syaikh Al Huwaini mengatakan bahwa hadits ini ghoiru mahfuzh artinya periwayatnya tsiqoh (terpercaya) namun menyelisihi periwayat tsiqoh yang banyak atau yang lebih tsiqoh.[4] Jika demikian, hadits ini adalah hadits yang lemah (dho’if).
Syaikh Al Albani –rahimahullah- mengatakan bahwa hadits ini adalah hadits dho’if (lemah).[5]
Terdapat perkataan yang shahih sebagaimana hadits Buraidah di atas, namun bukan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi perkataan Ibnu Mas’ud.
Ibnu Mas’ud –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan,
إِنَّ مِنَ الجَفَاءِ أَنْ تَبُوْلَ وَأَنْتَ قَائِمٌ
“Di antara perangai yang buruk adalah seseorang kencing sambil berdiri.” (HR. Tirmidzi). Syaikh Al Huwaini mengatakan bahwa periwayat hadits ini adalah periwayat yang tsiqoh (terpercaya). Syaikh Al Albani –rahimahullah- mengatakan dalam Shahih wa Dha’if Sunan At Tirmidzi bahwa hadits ini shahih. Inilah pendapat Ibnu Mas’ud mengenai kencing sambil berdiri.
Menilik Perselisihan Para Ulama
Dari hadits-hadits di atas, para ulama akhirnya berselisih pendapat mengenai hukum kencing sambil berdiri menjadi tiga pendapat.
Pendapat pertama: dimakruhkan tanpa ada udzur. Inilah pendapat yang dipilih oleh ‘Aisyah, Ibnu Mas’ud, ‘Umar dalam salah satu riwayat (pendapat beliau terdahulu), Abu Musa, Asy Sya’bi, Ibnu ‘Uyainah, Hanafiyah dan Syafi’iyah.
Pendapat kedua: diperbolehkan secara mutlak. Inilah pendapat yang dipilih oleh ‘Umar dalam riwayat yang lain (pendapat beliau terakhir), Zaid bin Tsabit, Ibnu ‘Umar, Sahl bin Sa’ad, Anas, Abu Hurairah, Hudzaifah, dan pendapat Hanabilah.
Pendapat ketigadiperbolehkan jika aman dari percikan, sedangkan jika tidak aman dari percikan, maka hal ini menjadi terlarang. Inilah madzhab Imam Malik dan inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnul Mundzir.[6]
Pendapat Terkuat
Pendapat terkuat dari pendapat yang ada adalah kencing sambil berdiri tidaklah terlarang selama aman dari percikan kencing. Hal ini berdasarkan beberapa alasan:
  1. Tidak ada hadits yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kencing sambil berdiri selain dari hadits yang dho’if (lemah).
  2. Hadits yang menyebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kencing sambil duduk tidaklah bertentangan dengan hadits yang menyebutkan beliau kencing sambil berdiri, bahkan kedua-duanya diperbolehkan.
  3. Terdapat hadits yang shahih dari Hudzaifah bahkan hadits ini disepakati oleh Bukhari dan Muslim bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah kencing sambil berdiri.
  4. Sedangkan perkataan ‘Aisyah yang mengingkari berita kalau Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu kencing sambil berdiri hanyalah sepengetahuan ‘Aisyah saja ketika beliau berada di rumahnya. Belum tentu di luar rumah, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak kencing sambil berdiri. Padahal jika seseorang tidak tahu belum tentu hal tersebut tidak ada. Mengenai masalah ini, Hudzaifah memiliki ilmu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah kencing sambil berdiri. Jadi, ilmu Hudzaifah ini adalah sanggahan untuk ‘Aisyah yang tidak mengetahui hal ini.
Itulah sedikit ulasan mengenai kencing sambil berdiri. Semoga pembahasan ini bisa menjawab masalah dari beberapa pembaca yang belum menemukan titik terang mengenai permasalahan ini.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Allahumman fa’ana bimaa ‘allamtana, wa ‘alimna maa yanfa’una wa zidnaa ‘ilmaa. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.


[1] Syarh Shahih Al Bukhari Libni Baththol, 1/334, Maktabah Ar Rusyd
[2] Al Fatawa Al Haditsiyah Lil Huwainiy, 1/174
[3] As Silsilah Adh Dho’ifah no. 934
[4] Lihat Al Fatawa Al Haditsiyah Lil Huwainiy, 1/295-297
[5] Shahih wa Dho’if Al Jaami’ Ash Shogir no. 6283
[6] Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik, 1/96, Al Maktabah At Taufiqiyah

  • Disqus
  • ju Banget
  • Dislike

    TIDUR SEPERTI APA YANG MEMBATALKAN WUDLU


    Kelanjutan tentang pembatal wudhu, kami rinci dalam postingan kali ini, yaitu mengenai masalah tidur. Apakah tidur membatalkan wudhu ataukah tidak, dalam masalah ini para ulama ada silang pendapat. Beda pendapat ini terjadi dikarenakan perbedaan dalam menilai hadits.
    Hadits yang membicarakan tentang masalah tidur membatalkan wudhu terlihat (secara zhohir) saling bertentangan. Sebagian hadits menunjukkan bahwa tidur membatalkan wudhu. Sebagian lagi menunjukkan bahwa tidur tidak membatalkan wudhu. Sehingga dari sini para ulama menempuh dua jalan. Ada yang melakukan jama' (menggabungkan dalil) dan ada yang melakukan tarjih (memilih manakah dalil yang lebih kuat).
    Para ulama yang melakukan tarjih, boleh jadi ada yang memiliki pendapat bahwa tidur bukanlah hadats dan boleh jadi pula ada yang memiliki pendapat bahwa tidur termasuk hadats sehingga mengharuskan untuk wudhu. Sedangkan ulama yang menempuh jalan jama', mereka memiliki pendapat bahwa tidur bukanlah hadats, namun hanya mazhonnatu lil hadats(kemungkinan terjadi hadats). Mereka pun nantinya berselisih, bagaimanakah bentuk tidur yang bisa membatalkan wudhu.
    Intinya, dalam masalah ini ada delapan pendapat. Berikut di antara pendapat tersebut dan akan kami sebutkan beberapa dalil yang digunakan. [1]
    Pendapat pertama: Tidur sama sekali bukan termasuk pembatal wudhu.
    Inilah yang menjadi pendapat beberapa sahabat semacam Ibnu 'Umar dan Abu Musa Al Asy'ari. Pendapat ini juga menjadi pendapat Sa'id bin Jubair, Makhul, 'Ubaidah As Salmaniy, Al Awza'i dan selain mereka. Di antara dalil mereka adalah hadits dari Anas bin Malik,
    أُقِيمَتِ الصَّلاَةُ وَالنَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- يُنَاجِى رَجُلاً فَلَمْ يَزَلْ يُنَاجِيهِ حَتَّى نَامَ أَصْحَابُهُ ثُمَّ جَاءَ فَصَلَّى بِهِمْ.
    “Ketika shalat hendak ditegakkan, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berbisik-bisik dengan seseorang. Beliau terus berbisik-bisik dengannya hingga para sahabat tertidur. Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pun datang dan shalat bersama mereka.”[2]
    Qotadah mengatakan bahwa ia pernah mendengar Anas berkata,
    كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَنَامُونَ ثُمَّ يُصَلُّونَ وَلاَ يَتَوَضَّئُونَ قَالَ قُلْتُ سَمِعْتَهُ مِنْ أَنَسٍ قَالَ إِى وَاللَّهِ.
    Para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ketiduran kemudian mereka pun melakukan shalat, tanpa berwudhu lagi.” Ada yang mengatakan, “Benarkah engkau mendengar hal ini dari Anas?” Qotadah, “Iya betul. Demi Allah.[3]
    Pendapat kedua: Tidur termasuk pembatal wudhu, baik tidur sesaat maupun tidur yang lama. Pendapat ini adalah pendapat Abu Hurairah, Abu Rofi', 'Urwah bin Az Zubair, 'Atho', Al Hasan AL Bashri, Ibnul Musayyib, Az Zuhri, Al Muzanni, Ibnul Mundzir dan Ibnu Hazm. Pendapat ini juga dipilih oleh Syaikh Al Albani -rahimahullah-.
    Dalil dari pendapat ini adalah sebagaimana buang air besar dan kencing menyebabkan batalnya wudhu ketika memakai khuf, begitu pula tidur. Perhatikan hadits berikut dari Shofwan bin 'Assal tentang mengusap khuf.
    كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُنَا إِذَا كُنَّا مُسَافِرِينَ أَنْ نَمْسَحَ عَلَى خِفَافِنَا وَلَا نَنْزِعَهَا ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ غَائِطٍ وَبَوْلٍ وَنَوْمٍ إِلَّا مِنْ جَنَابَةٍ
    Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami, jika kami bersafar, maka cukup kami mengusap sepatu kami, tanpa perlu melepasnya selama tiga hari. Tidak perlu melepasnya ketika wudhu batal karena buang air besar, kencing atau tertidur kecuali jika dalam keadaan junub.[4]
    Dalam hadits ini disebutkan tidur secara umum tanpa dikatakan tidur yang sesaat atau yang lama. Dan ditambah lagi bahwa tidur ini disamakan dengan kencing dan buang air besar yang merupakan pembatal wudhu.
    Pendapat ketiga: Tidur yang lama yang membatalkan wudhu dalam keadaan tidur mana saja. Sedangkan tidur yang cuma sesaat tidak membatalkan wudhu.
    Pendapat ini dipilih olehh Imam Malik dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad. Pendapat ini memaknai hadits Anas yang disebutkan dalam pendapat pertama sebagai tidur yang sedikit (sesaat). Mereka memiliki argumen dengan perkataan Abu Hurairah,
    مَنِ اسْتَحَقَّ النَّوْمَ فَقَدْ وَجَبَ عَلَيْهِ الْوُضُوءُ.
    Barangsiapa yang tertidur, maka wajib baginya untuk berwudhu.[5] Namun perkataan ini hanya sampai derajat mauquf (sekedar perkataan sahabat).
    Pendapat keempat: Tidak membatalkan wudhu kecuali jika tidurnya dalam keadaan berbaring (pada lambung) atau bersandar. Sedangkan apabila tidurnya dalam keadaan ruku', sujud, berdiri atau duduk, maka ini tidak membatalkan wudhu baik di dalam maupun di luar shalat.
    Inilah pendapat Hammad, Ats Tsauri, Abu Hanifah dan murid-muridnya, Daud, dan pendapat Imam Asy Syafi'i.
    Di antara dalilnya adalah dari 'Amr bin Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
    لَيْسَ عَلَى النَّائِمِ جَالِسًا وُضُوْءٌ حَتَّى يَضَعُ جَنْبَهُ
    “Tidak ada wudhu bagi orang yang tidur dalam keadaan duduk sampai ia meletakkan lambungnya.” Namun hadits ini adalah hadits yang dho'if (lemah).[6]
    Pendapat kelima: Wudhu tidak batal jika tidur dalam keadaan duduk, baik dalam shalat maupun di luar shalat, baik tidur sesaat maupun lama.
    Alasan mereka, tidur hanyalah mazhonnatu lil hadats (sangkaan akan muncul hadats). Dan tidur dalam keadaan seperti ini masih mengingat berbagai hal (misalnya ia masih merasakan kentut atau hadats).
    Inilah pendapat yang dipilih oleh Imam Asy Syafi'i dan Asy Syaukani. Pendapat ini menafsirkan hadits Anas dalam pendapat pertama bahwa para sahabat ketika itu tidur dalam keadaan duduk. Namun Al Hafizh Ibnu Hajar menyanggah pendapat ini dengan menyebutkan sebuah riwayat dari Al Bazzar dengan sanad yang shahih bahwa hadits Anas yang menceritakan sahabat yang tidur menyebutkan kalau ketika itu ada di antara sahabat yang tidur dengan berbaring (pada lambungnya), lalu mereka pergi hendak shalat.
    Dan masih ada beberapa pendapat lainnya yang terbilang cukup lemah.
    Pendapat yang terkuat:
    Tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur lelap yang tidak lagi dalam keadaan sadar. Maksudnya, ia tidak lagi mendengar suara, atau tidak merasakan lagi sesuatu jatuh dari tangannya, atau tidak merasakan air liur yang menetes. Tidur seperti inilah yang membatalkan wudhu, baik tidurnya dalam keadaan berdiri, berbaring, ruku' atau sujud. Karena tidur semacam inilah yangmazhonnatu lil hadats, yaitu kemungkinan muncul hadats. Pendapat ini sejalan dengan pemahamann pada pendapat pertama.
    Sedangkan tidur yang hanya sesaat yang dalam keadaan kantuk, masih sadar dan masih merasakan merasakan apa-apa, maka tidur semacam ini tidak membatalkan wudhu. Inilah pendapat yang bisa menggabungkan dalil-dalil yang ada.


    [1] Pembahasan ini kami sarikan dari pembahasan Syaikh Abu Malik dalam Shahih Fiqh Sunnah, 1/129-132, Al Maktabah At Taufiqiyah.
    [2] HR. Muslim no. 376.
    [3] HR. Muslim no. 376.
    [4] HR. An Nasa-i no. 127. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
    [5] HR. Al Baihaqi, 2/135, 'Abdur Rozaq no. 481. Hadits ini adalah hadits mauquf (hanya perkataan sahabat) dengan sanad yang shahih dan tidak shahih jika marfu' (disandarkan pada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam). Lihat penjelasan Ibnu Hajar Al Asqolani dalam At Talkhis Al Habir, 1/179
    [6] Ibnu Hajar Al 'Asqolaniy menyebutkan hadits ini dalam Lisanul Mizan, 8/181. Dalam hadits ini ada perowi yang tertuduh berdusta dan sering memalsukan hadits, sebagaimana kata Ibnu Ma'in.

    Welcome Guys

    "IT IS AMAZING THE CASE OF PEOPLE WHO BELIEVE, BECAUSE ALL BUSINESS IS GOOD FOR HIM. AND SO IT WILL NOT BE THERE BUT ONLY ON BELIEVERS: THAT IS IF HE GETS HAPPINESS, HE WAS GRATEFUL, BECAUSE (HE KNEW) THAT IT IS A BEST FOR HIM. AND IF HE IS STRICKEN, HE WAS PATIENT, AS (HE KNEW) THAT IT IS THE BEST THING FOR HIM. "