Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now 

Blogger templates

Recent Comments

Pasang Iklan Gratis

Wednesday, September 21, 2011

Perkawinan : Menurut Agama & Pandangan Umum

Perkawinan :
Menurut Agama & Pandangan Umum
“Bojo siji ditresnani sampek mati.
Ora ganti-ganti kaki-nini.
Mesthi diayomi sing Maha Suci”
KALIMAT bahasa Jawa yang berarti - istri atau suami satu disayang sampai mati, tidak ganti hingga jadi kakek-nenek pasti dilindungi oleh Yang Maha Suci – di atas hanyalah sekedar sastra. Tapi para pengikut Budha menjadikannya sebagai pedoman untuk menjalani pernikahan.
Menurut mbah Samadi, mantan ketua Marga Budhi  Blora, “ Wong Budha pegatan iku ora ana kejaba nek bojo nglakoni ngiwo, tegel-tega mblandrang ninggal garwa-putra”(Pengikut Budha tidak mengenal perceraian kecuali ada perselingkuhan dan tega meninggalkan pasangan dan anaknya).
Jika ada perceraian dan poligami maka akan terjadi saling menyakiti dan itu merupakan tindakan tercela. “Sedangkan agama menolak tindakan tercela,” tambah pria 66 tahun yang pernah mengenyam pendidikan agama Budha di Tambak Lulang, Kudus, Jawa Tengah.
Pernikahan menurut adat Jawa bersifat sakral. Maka biasa dirayakan besar-besaran karena hanya terjadi sekali dalam hidup. Namun kesakralan tersebut mulai terkikis seiring hadirnya fenomena ganti pasangan dengan mudah dan sah.
Demikian pendapat  pendeta Krisno Joewono, ketua Gereja Kristen Jawa Tengah Utara.  “ Dalam pernikahan Kristen orang tidak boleh menikah dua kali dan tidak boleh poligami. Dan jika terjadi perceraian maka si pelaku akan dikenai sanksi moral tidak boleh ikut kebaktian, sakramen, pembaptisan dan perjamuan.”


Status Sosial
Sementara itu Komang Gede Irawadi (lelaki asli Bali - penganut Hindhu) yang juga bagian keuangan Blora menyatakan, “Dewasa ini, akulturasi budaya dengan agama semakin kentara. Adat yang dijadikan ritualitas agama Hindu berbeda dengan keyakinan penganut Hindu di daerah lain. Contohnya pria di Jawa harus memiliki peranan aktif dibanding perempuan. Sedangkan di Bali, peranan tersebut dilakukan perempuan.
“Jadi polemik tersendiri dalam Hindu sebab Wedha melarang poligami, sedangkan kitab sastra memperbolehkan poligami dengan syarat bisa berlaku adil layaknya Dewa Shiwa,” tutur Gede Komang.
Dalam Islam, poligami memiliki kekuatan legal formal yang tercantum dalam ayat Al-Qur’an atau Hadist Nabi. “Tapi bagi mereka yang tak bisa berlaku adil seperti apa yang tertulis dalam Al-Qur’an dan Hadist Nabi sebaiknya tidak dilakukan,” ungkap  Gus Subhan, pengasuh ponpes Sabilu Ar-Rosyad.
Sebagaimana yang umum terjadi, terdapat kesalahpahaman di masyarakat tentang konsep perkawinan.  “Dalam Hindhu, kasta Brahmana, Satria, Waesya dan Sudra hanyalah simbol profesi. Dan bukan berarti pelarangan bagi pemilik kasta untuk menikahi kasta lainnya,” kata Gede Komang kepada RUAS.
Ia juga bercerita, korban Tragedi 65 masih sulit mengakses segala haknya sebagai warganegara termasuk soal pernikahan. Rupanya pandangan umum tentang eks-tapol PKI dan korban 65  di mata masyarakat masih pada strata sosial yang lebih rendah.
“Juga masih digunakan sebagai patokan untuk memilih pasangan. Padahal tidak ada keterangan dalam agama Hindhu yang membenarkan adanya diskriminasi itu,” tuturnya.
Salah Paham
Sedangkan Gus Subhan menilai, dalam Islam sendiri kesalahpahaman itu terdapat dalam pemaknaan Hadist “tunkahul mar’atu lijamaliha........ila akhirihi” anjuran inilah yang menjadi salah satu polemik untuk memilah-milah status sosial sebagai alat ukur kebaikan dan keburukan calon  pasangan. Kecuali itu, awal kesalahpahaman tersebut terjadi akibat pemahaman kalimat berita (kalam khobar) dengan kalimat perintah (kalam amar).
“Banyak yang mengaitkan Hadist tersebut menganjurkan menikahi perempuan dengan melihat kecantikan, kekayaan, keluarga dan lain-lain, padalah itu hanya berita yang disampaikan Nabi Muhammad yang menceritakan ada seseorang yang menikahi perempuan karena cantiknya, hartanya, nasabnya dll.
Kalam yang digunakan merupakan berita, sedangkan kalam amar atau perintah terdapat pada hadist yang seterusnya yakni yang artinya nikahilah perempuan karena agamanya,” ungkapnya.
Dari sisi Kristen, soal perkawinan sudah jadi aturan baku yang harus ditaati. Demikian juga dalam agama Katolik karena para penganutnya berpegang pada salah satu ayat Kitab Suci yang menyebut “Apa yang sudah disatukan oleh Tuhan, tidak boleh diceraikan oleh manusia.”  (Imam Albha)

No comments:

Post a Comment