Perkawinan :
Menurut Agama & Pandangan Umum
Menurut Agama & Pandangan Umum
“Bojo siji ditresnani sampek mati.
Ora ganti-ganti kaki-nini.
Mesthi diayomi sing Maha Suci”
Ora ganti-ganti kaki-nini.
Mesthi diayomi sing Maha Suci”
KALIMAT bahasa Jawa yang berarti - istri atau suami satu disayang
sampai mati, tidak ganti hingga jadi kakek-nenek pasti dilindungi oleh
Yang Maha Suci – di atas hanyalah sekedar sastra. Tapi para pengikut
Budha menjadikannya sebagai pedoman untuk menjalani pernikahan.
Menurut mbah Samadi, mantan ketua Marga Budhi Blora, “ Wong Budha pegatan iku ora ana kejaba nek bojo nglakoni ngiwo, tegel-tega mblandrang ninggal garwa-putra”(Pengikut Budha tidak mengenal perceraian kecuali ada perselingkuhan dan tega meninggalkan pasangan dan anaknya).
Jika ada perceraian dan poligami maka akan terjadi saling menyakiti
dan itu merupakan tindakan tercela. “Sedangkan agama menolak tindakan
tercela,” tambah pria 66 tahun yang pernah mengenyam pendidikan agama
Budha di Tambak Lulang, Kudus, Jawa Tengah.
Pernikahan
menurut adat Jawa bersifat sakral. Maka biasa dirayakan besar-besaran
karena hanya terjadi sekali dalam hidup. Namun kesakralan tersebut
mulai terkikis seiring hadirnya fenomena ganti pasangan dengan mudah
dan sah.
Demikian pendapat pendeta Krisno Joewono, ketua
Gereja Kristen Jawa Tengah Utara. “ Dalam pernikahan Kristen orang
tidak boleh menikah dua kali dan tidak boleh poligami. Dan jika terjadi
perceraian maka si pelaku akan dikenai sanksi moral tidak boleh ikut
kebaktian, sakramen, pembaptisan dan perjamuan.”
Status Sosial
Sementara itu Komang Gede Irawadi (lelaki asli Bali - penganut Hindhu) yang juga bagian keuangan Blora menyatakan, “Dewasa ini, akulturasi budaya dengan agama semakin kentara. Adat yang dijadikan ritualitas agama Hindu berbeda dengan keyakinan penganut Hindu di daerah lain. Contohnya pria di Jawa harus memiliki peranan aktif dibanding perempuan. Sedangkan di Bali, peranan tersebut dilakukan perempuan.
Sementara itu Komang Gede Irawadi (lelaki asli Bali - penganut Hindhu) yang juga bagian keuangan Blora menyatakan, “Dewasa ini, akulturasi budaya dengan agama semakin kentara. Adat yang dijadikan ritualitas agama Hindu berbeda dengan keyakinan penganut Hindu di daerah lain. Contohnya pria di Jawa harus memiliki peranan aktif dibanding perempuan. Sedangkan di Bali, peranan tersebut dilakukan perempuan.
“Jadi polemik tersendiri dalam Hindu sebab Wedha melarang poligami, sedangkan kitab sastra memperbolehkan poligami dengan syarat bisa berlaku adil layaknya Dewa Shiwa,” tutur Gede Komang.
Dalam Islam, poligami memiliki kekuatan legal formal yang tercantum
dalam ayat Al-Qur’an atau Hadist Nabi. “Tapi bagi mereka yang tak bisa
berlaku adil seperti apa yang tertulis dalam Al-Qur’an dan Hadist Nabi
sebaiknya tidak dilakukan,” ungkap Gus Subhan, pengasuh ponpes Sabilu
Ar-Rosyad.
Sebagaimana yang umum terjadi, terdapat kesalahpahaman di masyarakat
tentang konsep perkawinan. “Dalam Hindhu, kasta Brahmana, Satria,
Waesya dan Sudra hanyalah simbol profesi. Dan bukan berarti pelarangan
bagi pemilik kasta untuk menikahi kasta lainnya,” kata Gede Komang
kepada RUAS.
Ia juga bercerita, korban Tragedi 65 masih sulit mengakses segala
haknya sebagai warganegara termasuk soal pernikahan. Rupanya pandangan
umum tentang eks-tapol PKI dan korban 65 di mata masyarakat masih
pada strata sosial yang lebih rendah.
“Juga masih digunakan sebagai patokan untuk memilih pasangan.
Padahal tidak ada keterangan dalam agama Hindhu yang membenarkan adanya
diskriminasi itu,” tuturnya.
Salah Paham
Sedangkan Gus Subhan menilai, dalam Islam sendiri kesalahpahaman itu terdapat dalam pemaknaan Hadist “tunkahul mar’atu lijamaliha........ila akhirihi” anjuran inilah yang menjadi salah satu polemik untuk memilah-milah status sosial sebagai alat ukur kebaikan dan keburukan calon pasangan. Kecuali itu, awal kesalahpahaman tersebut terjadi akibat pemahaman kalimat berita (kalam khobar) dengan kalimat perintah (kalam amar).
Sedangkan Gus Subhan menilai, dalam Islam sendiri kesalahpahaman itu terdapat dalam pemaknaan Hadist “tunkahul mar’atu lijamaliha........ila akhirihi” anjuran inilah yang menjadi salah satu polemik untuk memilah-milah status sosial sebagai alat ukur kebaikan dan keburukan calon pasangan. Kecuali itu, awal kesalahpahaman tersebut terjadi akibat pemahaman kalimat berita (kalam khobar) dengan kalimat perintah (kalam amar).
“Banyak yang mengaitkan Hadist tersebut menganjurkan menikahi
perempuan dengan melihat kecantikan, kekayaan, keluarga dan lain-lain,
padalah itu hanya berita yang disampaikan Nabi Muhammad yang
menceritakan ada seseorang yang menikahi perempuan karena cantiknya,
hartanya, nasabnya dll.
Kalam yang digunakan merupakan berita, sedangkan kalam amar atau
perintah terdapat pada hadist yang seterusnya yakni yang artinya
nikahilah perempuan karena agamanya,” ungkapnya.
Dari sisi Kristen, soal perkawinan sudah jadi aturan baku yang harus
ditaati. Demikian juga dalam agama Katolik karena para penganutnya
berpegang pada salah satu ayat Kitab Suci yang menyebut “Apa yang sudah
disatukan oleh Tuhan, tidak boleh diceraikan oleh manusia.” (Imam Albha)
No comments:
Post a Comment